Selain Adam dan Hawa, tak seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki ibu. Bahkan bayi mungil yang dibuang di pinggir jalan sekalipun, tetaplah memiliki seorang ibu, bagaimanapun bentuk dan wujudnya.
Tetapi ternyata tidaklah mudah untuk sekadar berterima kasih dan menghargai peran seorang ibu. Sebuah peran suci dan sakral yang kini lebih sering dianggap sebagai peran domestik dan amat tradisional. Karenanya, kini tidak sedikit perempuan, termasuk saya, kerap lebih bangga menyebutkan berbagai profesi, entah sebagai guru, wartawan, sekretaris, pedagang, atau profesi lain dibandingkan menyebut dirinya sebagai ibu rumah tangga (saja).
Suatu hari saya pernah mendaftarkan diri untuk melakukan pemeriksaan USG (ultrasonografi) pada bayi yang saya kandung di sebuah klinik bersalin. Tiba-tiba sang perawat dengan ramah menanyakan, “Apakah ibu bekerja?”
Dengan gagap dan segan saya terpaksa menggeleng. Perawat yang ramah itu pun kemudian menuliskan sesuatu di dalam kartu kontrol berobat milik saya. Belakangan saya baru tahu kalau perawat itu menuliskan “IRT” alias “Ibu Rumah Tangga” dalam kolom pekerjaan saya.
Tiba-tiba saya merasakan ada sepenggal hati saya yang terbang entah ke mana. Ada rasa kesal, sedih, malu, atau apa namanya, saya tidak tahu. Yang jelas saya diam-diam mengeluh mengapa saya tak bisa bangga mengatakan bahwa saya (hanyalah) seorang ibu rumah tangga.
Mencari Makna “Fungsi Perempuan”
Entah kenapa, sejak menjalani babak kehidupan yang baru (sebagai ibu rumah tangga murni), tiba-tiba saya merasa belum pernah menjadi ‘manusia’. Karena, merasa sama sekali belum mempunya nilai dan fungsi sosial bagi kehidupan.
Saya belum mampu memberikan sedikit warna dalam kehidupan meskipun dalam bentuk yang remeh-remeh sekalipun. Bukankah seberapa besar manusia mampu menjadi ‘manusia’ tergantung dari seberapa besar dia memberikan manfaat pada orang lain dan lingkungan sekitarnya? Dan kini, bagaimana saya bisa merasa menjadi ‘manusia’? Bagaimana bisa memiliki fungsi sosial jika saat ini kehidupan saya berputar tak lebih dari urusan kerumahtanggaan dan melayani suami?
Tidak pernah lagi saya rasakan kenikmatan memberikan sedikit pengetahuan saya dalam berbagai pelatihan rekan-rekan mahasiswa, yang dulu kerap saya lakukan. Juga kepuasan batin yang tiada terkira ketika berhasil mengumpulkan dana dan berbagai bantuan material untuk para korban bencana lewat LSM dan sebuah organisasi kemahasiswaan yang dulu pernah saya geluti. Pun peluh keringat kelegaan setelah berhasil mengejar deadline menyelesaikan tulisan-tulisan untuk tabloid kampus, tempat saya mencurahkan segala ide. Rasanya semua itu sudah begitu lama tidak lagi saya alami. Dan jujur saja, saya kangen dengan semua aktivitas itu.
Dulu, saya membayangkan begitu indah dan sederhana kehidupan menjadi seorang ibu rumah tangga. Mengurus suami dan anak-anak, membereskan berbagai urusan rumah, dan menunggu kepulangan mereka dengan senyum yang menyejukkan.
Kenyataannya ternyata tidaklah semudah itu. Ketika suami berangkat bekerja, maka mulailah saya berusaha menikmati segala bentuk kesendirian dengan tenggelam dalam berbagai rutinitas rumahtangga. Dan tetap saja semua itu terasa menyiksa, karena saya tidak lagi mempunyai teman untuk sekadar bertukar pendapat tentang berbagai hal.
Otak saya terasa begitu tumpul dan bebal karena sama sekali tidak lagi terasah dalam berbagai forum diskusi. Satu-satunya kegiatan untuk mempertahankan kemampuan otak adalah dengan membaca dan menulis.
Wanita Modern dengan Peran Tradisional
Hingga akhirnya saya menemukan tulisan Annie Iwasaki, sosok perempuan yang dengan bangga menentukan sebuah pilihan untuk bekerja sebagai ibu rumahtangga di tanah air suaminya, Jepang. Annie benar-benar berusaha untuk menghayati dan memaknai kariernya itu. Ia kemudian menemukan bahwa justru dengan kembalinya para perempuan modern yang berpendidikan tinggi kepada peran tradisionalnya sebagai ibu rumahtangga murni, maka negara Jepang bisa maju!
Menurutnya hal ini dikarenakan, pertama, bekerjanya perempuan di sektor domestik (rumahtangga) itu berarti mengurangi kemungkinan kelebihan jumlah tenaga kerja di sektor publik. Kedua, perempuan berpendidikan yang bekerja di sektor domestik lebih menjamin terciptanya generasi masa depan Jepang yang berkualitas. Bahkan dalam sebuah artikelnya ia berani memberi judul “Peran Ganda Perempuan Karier Itu Nonsense!”
Menemukan Permata
Waktu terus berjalan. Putri kecil saya menginjak usia dua tahun. Celoteh dan tingkah lakunya telah mengajarkan begitu banyak hal kepada saya untuk terus belajar menjadi ibu yang baik. Bukankah guru terbaik seorang ibu adalah pengalamannya sendiri? Bukankah proses belajar menjadi ibu yang baik adalah proses sepanjang hayat?
Allah akan membantu sebesar apapun masalah dan kesulitan kita. Tetapi semua itu hanya mungkin terjadi jika seorang perempuan, seorang hamba, mampu berlaku ikhlas serta mau melibatkan Allah dalam setiap detik pengabdiannya
PerhatianYuk lihat Semua artikel di blog ini Daftar isi
No comments:
Post a Comment
Silahkan KOmentar Dengan Baik Dan Sopan .